Saturday, September 2, 2017

Mengenal Sejarah Perdagangan Manusia di Indonesia

Perdagangan manusia merupakan tindak kejahatan yang sudah melebihi batas kemanusiaan. Hal ini jelas melanggar berat hak asasi manusia. Bagaimanapun manusia seharusnya diperlakukan secara adil dan terhormat. Namun kejahatan yang berkembang yakni semakin meningkatnya perbuatan memperdagangkan orang. Manusia diperjualbelikan seperti barang dagangan yang bisa ditawar. Semua ini merupakan bentuk eksploitasi manusia yang hanya peduli pada keuntungan semata. Padahal orang-orang yang menjadi korban tidak pernah meraup hasil kerjanya itu.
Ironisnya, kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Mereka dijual untuk bisnis buruh kasar maupun pekerja seks. Bagaimana mungkin anak kecil mampu dipekerjakan, mereka seharusnya duduk di bangku sekolahan. Begitupun kekhawatiran tekanan psikis yang mereka alami diusia dini. Ditakutkan akan membuat trauma berkepanjangan hingga mereka dewasa, bahkan bisa saja malah membentuk pribadi yang merusak akhlak. Memang sangatlah sulit dalam mematikan roda bisnis perdagangan orang ini, karena para perlaku bekerja secara terorganisasi hingga sulit untuk menangkap akar kejahatannya.
Saat ini di indonesia, kasus perdagangan orang telah diatur oleh UU Nomor 21 tahun 2007. Di dalam undang-undang ini telah diatur secara tegas mengenai sanksi bagi pelaku kejahatannya. Undang-undang ini hadir sebagai bentuk pembaharuan atas aturan KUHP Pasal 297 karena dianggap hukuman enam tahun penjara tidak efektif dalam menjerat pelaku tindak pidana perdagangan orang.
Dalam sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. Masa kerajaan-kerajaan di Jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahakan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahak oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan setatusnya. Perempuan yang dijadiakan selir berasal dari daerah tertentu. Sampai sekarang daerah-daerah tersebut masih merupakan legenda.
Koentjoyo mengidentifikasikan ada 11 kabupaten di jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut adalah jawa barat (Indramayu, Karawang, Kuningan), Jawa tengah (Pati, Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Blitar, Malang, Bnayuwangi, Lamongan).[1]
Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya seorang janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas di jawa saja., tetapi kenyataannya diseluruh Asia.[2]
Dalam prostitution in Colonial dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia menagalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembanagunan jalan Anyer- Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Daendles. Sekarang juga masih terjadi dimana lokasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostutisi kedua adalah pada tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakuakn privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.[3]
Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak membawa perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang.[4] Hartono dan Juliantoro menemukan bergabai cara rekrutmen dalam perdagangan orang khususnya perempuan, yaitu:
1.             Melalaui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang, dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan masal seperti menjadi pembantu rumah tangga, pemain sandiwara, atau sebagai pelayan restiran.
2.             Melalui jalur resmi aparat pemerintah, seperti para carik, Bayan, dan Lurah dikerahakn untuk mengumpulkan perempuan desa. Pendekatan yang dipergunakan oelh aparat desa adalah cara kekeluargaan, sehingga dalam proses pemberangkatan tidak banayk persoalan. Mereka dijanjiakn untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilakn uang untuk membantukehidupan keluarga. Padahal, perempuan tersebut dijadiakn Jugun Lanfu, yaitu wanita penghibur baik untuk kalangan militer maupun sipil Jepang. Mereka dikirim sampai ke Kalimantan atau bahkan ke pulau lain yang asing bagi mereka.[5] 
Setelah merdeka, hal tesebut dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum . di Era Globalisasi, perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan orang melalui bujukan, ancaman, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan dibawa ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan diluar kemampuannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.[6]
            Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern ini merupakan dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukan kualitas dan kuantitasnya. Setiap tahun sekitar 2 juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak.[7]tahun 2005, ILO Global Report On Forced Labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang menjadi buruh diseluruh dunia, dan lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik dan 40% adalah anak-anak.[8]
Disatu sisi, hal ini terjadi karena kemiskinan struktural seperti tidak mempunyai keluarga untuk  mengikuti kenaikan harga pokok memaksa mereka mengirim anggota keluarganya untuk bekerja. Di pihak lain, telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku dan belum ada mekanisme yang efektif untuk melindungi perempuan dan anak yang dieksploitasi tersebut.
Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perrempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran  dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara mmeperlakuakn korban untuk bekerja yang mengarah pada prkatik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdaganagn orang. Kasus perdaganagn orang terutama terjadi di kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak, Makasar, dan Manado. Hasil seminar Illegal Migration and Human Trafficking in Woman and Children menunjukan bahwa tahun 2000 dari 1.683 kasus yang dilaporkan ke Kepolisian hanya 1.094 kasus yang diteruskan ke Pengadilan. [9]
Kemudian muncul pertanyaan, apa penyebab dari banyaknya pergaganagn manusia tersebut, sebuah kegiatan yang senyatanya dilarang baik oleh hukum maupun agama tersebut. Ada beberap faktor yang menjadi penyebab terjadinya perganagn manusia di Indonesia[10], diantaranya:
a.       Faktor Ekonomi
b.      Faktor Ekologis
c.       Faktor Sosial Budaya
d.      Faktor Ketidaadaan Kesetaraan Gender
e.       Faktor Penegakan Hukum, antara lain dipengaruhi faktor hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, kebudayaan,






[1]Terence H. Hull, Endang S., Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia, cetakan I,(Jakarta: Pusta Sinar Harapan, 1997), hlm. 1-2.
[2]Ibid, hlm.3
[3]Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks Sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
[4]Dian Kartika Sari, Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak dalam Tinjauan Hukum (Makalah disampaikan pada Semiloka Trafficking dalam Perspektif Agama dan Budaya, Jakarta, 8 agustus 2002), hlm.14
[5]Sulistyowati Irianto dkk, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedar Narkotik, edisi pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm,22-23.

[6] Farhana, Aspek Hukum PERDAGANGAN ORANG Di Indonesia, SINAR GRAFIKA, Jkaarta: 2010.hlm 4
[7]Rachmat Syafaat, Dagang Manusia, cet. 1, Jakarta: Lappera Pustaka Utama, 2003, hlm.1
[8][8]Departement Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten dan Pelatihan Kerjasama luar Negeri, (OPDAT) dan Kantor Kejaksaan RI (Pusdiklat), Perdagangan Manusia dan Undang-Undnag Ketenagakerjaan: Strategi Penuntutan yang Efektif, 2008, hlm.33 
[9] Ibid, hlm.8
[10] Farhana, Aspek Hukum PERDAGANGAN ORANG Di Indonesia, SINAR GRAFIKA, Jkaarta: 2010.hlm. 50-68.

Friday, September 1, 2017

Definisi pedagangan manusia

Perdagangan manusia (Human Trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdayakan, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus menyangkut anak diterapkan juga definisi bahwa Human Trafficking anak juga berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela.
Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia). 
Sedangkan definisi Perdagangan Orang (trafficking) menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu :
Pasal 1 (ayat 1) ; Tindakan  perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pasal 1 (ayat 2) ; Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Substansi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas tujuan kejahatan trafiking, hakim dapat menghukum seseorang).
Berdasarkan pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan Orang. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (umur ≥ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking  yang harus diperhatikan adalah PROSES (Pergerakan), CARA, dan  TUJUAN (Eksploitasi). Sedangkan apabila korban adalah Anak (umur ≤ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan adalah PROSES (Pergerakan) dan TUJUAN (Eksploitasi) tanpa harus memperhatikan cara terjadinya trafficking.
Pelaku trafficking diartikan sebagai seorang yang melakukan atau terlibat dan menyutujui adanya aktivitas perekrutan, transportasi, perdagangan, pengiriman, penerimaan atau  penampungan atau seorang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk tujuan memperoleh keuntungan. Orang yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang yang direktur, dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan, sebagaimana disebutkan dalam definisi trafficking pada manusia termasuk anak, baik anak tersebut mengijinkan atau tidak.
Inti dari trafficking anak adalah adanya unsur eksploitasi dan pengambilan keuntungan secara sepihak. Eksploitasi disini diartikan sebagai tindakan penindasan, pemerasan, dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga, dan atau kemampuan seorang oleh pihak lain yang dilakukan sekurang-kurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar pada sebagian pihak.




Thursday, August 31, 2017

pengertian, unsur pidana lingkungan hidup

Setiap Negara mempunyai lingkungan hidup yang berbeda-beda. Lingkungan hidup Indonesia berbeda dengan Negara-negara lain seperti Amerka, Malaiysa, Singapura, dll. Lingkungan hidup Indonesia adalah adalah lingkungan hidup yang ada dalam batas wilayah Negara Indonesia. Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri dari berbagai daerah, masing-masing sebagai suatu subsistem yang meliputi aspek sosial budaya, ekonomi, dan fisik dengan corak ragam berbeda antara subsistem yang satu denga yang lain, dan dengn daya dukung lingkungan yang berbeda. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan pada daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasandan keseimbangan subsistem yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, banyak terjadi tindak pidana di bidang ligkungan hidup. Untuk penjagaan dan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Lingkungan Hidup yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbahharui lagi dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada dasarnya isi dari ketiga UU sama, hanya saja terdapat perbedaan antara UU No. 32 Tahun 2009 dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu  adanya penguatan yang terdapat dalam UU ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Makalah ini akam sedikit memaparkan tentang penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Khususnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup dan berdasarkan Hukum Islam.
Pengertian tentang lingkungan hidup dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan mahkluk lain.
            Dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009 dijelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupaka upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 
Pada pasal 47 ayat (1) mengatur tentang “Analisis Resiko Ligkungan Hidup yang menggaris bawahi:
1.      Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
2.      Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko
Dalam konteks penanggulanganya terdapat dalam pasal 53 ayat (1) yang menegaskan bahwa:
1.      Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2.      Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a.       pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b.      pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c.       penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal pemulihan diatur dalam pasal 54 ayat (1) dan (2), yang menegaskan:
1.        Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
2.        Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a.     penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b.     remediasi;
c.     rehabilitasi;
d.    restorasi; dan/atau
e.         cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana di lingkungan hidup apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Setiap orang, orang perorangan atau badan hukum
2.      Melawan hukum di bidang lingkungan hidup:
a.       Dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat. menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
b.      Karena kealpaannya dapat menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
c.       Melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk datas atau kedalam tanah, kedalam udara atau kedalm air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, menganggkut, menyimpann barang tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan un
tuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atu membahayakan kesehatan umum dan orang.[1]
Unsur-unsur tindak pidana lingkungan hidup juga dijelaskan dalam pasal 69 ayat (1) bahwa setiap orang dilarang:
a.       melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b.      memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.       memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.      memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.       membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f.       membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g.      melepaskan produk rekayasa genetic ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h.      melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i.         menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun mdal; dan/atau
j.         memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.



[1] Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet. I, hlm. 64