Perdagangan manusia merupakan tindak kejahatan yang sudah melebihi
batas kemanusiaan. Hal ini jelas melanggar berat hak asasi manusia.
Bagaimanapun manusia seharusnya diperlakukan secara adil dan terhormat. Namun
kejahatan yang berkembang yakni semakin meningkatnya perbuatan memperdagangkan
orang. Manusia diperjualbelikan seperti barang dagangan yang bisa ditawar.
Semua ini merupakan bentuk eksploitasi manusia yang hanya peduli pada keuntungan
semata. Padahal orang-orang yang menjadi korban tidak pernah meraup hasil
kerjanya itu.
Ironisnya, kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dan
anak-anak. Mereka dijual untuk bisnis buruh kasar maupun pekerja seks.
Bagaimana mungkin anak kecil mampu dipekerjakan, mereka seharusnya duduk di
bangku sekolahan. Begitupun kekhawatiran tekanan psikis yang mereka alami
diusia dini. Ditakutkan akan membuat trauma berkepanjangan hingga mereka
dewasa, bahkan bisa saja malah membentuk pribadi yang merusak akhlak. Memang
sangatlah sulit dalam mematikan roda bisnis perdagangan orang ini, karena para
perlaku bekerja secara terorganisasi hingga sulit untuk menangkap akar
kejahatannya.
Saat ini di indonesia, kasus perdagangan orang telah diatur oleh UU
Nomor 21 tahun 2007. Di dalam undang-undang ini telah diatur secara tegas
mengenai sanksi bagi pelaku kejahatannya. Undang-undang ini hadir sebagai
bentuk pembaharuan atas aturan KUHP Pasal 297 karena dianggap hukuman enam
tahun penjara tidak efektif dalam menjerat pelaku tindak pidana perdagangan
orang.
Dalam sejarah bangsa
Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. Masa
kerajaan-kerajaan di Jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu
merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep
kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia.
Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang
dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang
diserahakan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah
persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan
masyarakat bawah yang dijual atau diserahak oleh keluarganya dengan maksud agar
keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat
meningkatkan setatusnya. Perempuan yang dijadiakan selir berasal dari daerah
tertentu. Sampai sekarang daerah-daerah tersebut masih merupakan legenda.
Koentjoyo
mengidentifikasikan ada 11 kabupaten di jawa yang dalam sejarah terkenal
sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut
masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut
adalah jawa barat (Indramayu, Karawang, Kuningan), Jawa tengah (Pati, Jepara,
Wonogiri), Jawa Timur (Blitar, Malang, Bnayuwangi, Lamongan).[1]
Di Bali juga terjadi hal
tersebut, misalnya seorang janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat
dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan
tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar
kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada
raja secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang
dagangan
tidak terbatas di jawa saja., tetapi kenyataannya diseluruh Asia.[2]
Dalam prostitution in
Colonial dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia
menagalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembanagunan jalan
Anyer- Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh
Daendles. Sekarang juga masih terjadi dimana lokasi prostitusi dekat stasiun
kereta api. Perkembangan prostutisi kedua adalah pada tahun 1870 ketika
pemerintah Belanda melakuakn privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.[3]
Begitu juga periode penjajahan
Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan
pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak membawa perempuan ke Jawa dari
Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang.[4]
Hartono dan Juliantoro menemukan bergabai cara rekrutmen dalam perdagangan
orang khususnya perempuan, yaitu:
1.
Melalaui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang, dimana perempuan
diperas tenaganya dalam pekerjaan masal seperti menjadi pembantu rumah tangga,
pemain sandiwara, atau sebagai pelayan restiran.
2.
Melalui jalur resmi aparat pemerintah, seperti para carik, Bayan, dan Lurah
dikerahakn untuk mengumpulkan perempuan desa. Pendekatan yang dipergunakan oelh
aparat desa adalah cara kekeluargaan, sehingga dalam proses pemberangkatan
tidak banayk persoalan. Mereka dijanjiakn untuk mendapatkan pekerjaan yang
menghasilakn uang untuk membantukehidupan keluarga. Padahal, perempuan tersebut
dijadiakn Jugun Lanfu, yaitu wanita penghibur baik untuk kalangan militer
maupun sipil Jepang. Mereka dikirim sampai ke Kalimantan atau bahkan ke pulau
lain yang asing bagi mereka.[5]
Setelah merdeka, hal
tesebut dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum . di Era Globalisasi, perbudakan
marak kembali dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan
orang melalui bujukan, ancaman, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan dibawa
ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan
diluar kemampuannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya.[6]
Perdagangan
orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era
modern ini merupakan dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Dalam
pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius bahkan
telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap
pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukan
kualitas dan kuantitasnya. Setiap tahun sekitar 2 juta manusia diperdagangkan
dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak.[7]tahun
2005, ILO Global Report On Forced Labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang
dieksploitasi melalui perdagangan
orang menjadi buruh diseluruh dunia, dan lebih dari setengahnya berada di
wilayah Asia dan Pasifik dan 40% adalah anak-anak.[8]
Disatu sisi, hal ini
terjadi karena kemiskinan struktural seperti tidak mempunyai keluarga
untuk mengikuti kenaikan harga pokok
memaksa mereka mengirim anggota keluarganya untuk bekerja. Di pihak lain, telah
menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku
dan belum ada mekanisme yang efektif untuk melindungi perempuan dan anak yang
dieksploitasi tersebut.
Kenyataan bahwa yang lebih
dominan korban adalah perrempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering
menjadi sasaran dan dianggap paling
rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan
dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara
mmeperlakuakn korban untuk bekerja yang mengarah pada prkatik-praktik
eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang
dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para
pelaku perdaganagn orang. Kasus perdaganagn orang terutama terjadi di kota-kota
besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak,
Makasar, dan Manado. Hasil seminar Illegal Migration and Human Trafficking in
Woman and Children menunjukan bahwa tahun 2000 dari 1.683 kasus yang dilaporkan
ke Kepolisian hanya 1.094 kasus yang diteruskan ke Pengadilan. [9]
Kemudian muncul
pertanyaan, apa penyebab dari banyaknya pergaganagn manusia tersebut, sebuah
kegiatan yang senyatanya dilarang baik oleh hukum maupun agama tersebut. Ada
beberap faktor yang menjadi penyebab terjadinya perganagn manusia di Indonesia[10],
diantaranya:
a.
Faktor Ekonomi
b.
Faktor Ekologis
c.
Faktor Sosial Budaya
d.
Faktor Ketidaadaan Kesetaraan Gender
e.
Faktor Penegakan Hukum, antara lain dipengaruhi faktor hukumnya sendiri,
penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, kebudayaan,
[1]Terence
H. Hull, Endang S., Gavin W. Jones, Pelacuran
di Indonesia, cetakan I,(Jakarta: Pusta Sinar Harapan, 1997), hlm. 1-2.
[2]Ibid,
hlm.3
[3]Kuntjoro,
Memahami Pekerja Seks Sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36,
2004, yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
[4]Dian
Kartika Sari, Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak dalam Tinjauan
Hukum (Makalah disampaikan pada Semiloka Trafficking dalam Perspektif Agama dan
Budaya, Jakarta, 8 agustus 2002), hlm.14
[5]Sulistyowati
Irianto dkk, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedar Narkotik, edisi
pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm,22-23.
[6]
Farhana, Aspek Hukum PERDAGANGAN ORANG Di
Indonesia, SINAR GRAFIKA, Jkaarta: 2010.hlm 4
[7]Rachmat
Syafaat, Dagang Manusia, cet. 1, Jakarta: Lappera Pustaka Utama, 2003, hlm.1
[8][8]Departement
Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten dan Pelatihan Kerjasama luar Negeri,
(OPDAT) dan Kantor Kejaksaan RI (Pusdiklat), Perdagangan Manusia dan
Undang-Undnag Ketenagakerjaan: Strategi Penuntutan yang Efektif, 2008,
hlm.33
[9]
Ibid, hlm.8
[10]
Farhana, Aspek Hukum PERDAGANGAN ORANG Di
Indonesia, SINAR GRAFIKA, Jkaarta: 2010.hlm. 50-68.
EmoticonEmoticon