Pertanggung jawaban lebih diartikan pada Pembebanan pada pelaku
jarimah akibat dari perbuatannya yang dilarang.
Bila seseorang pelaku jarimah terbukti
melakukan suatu tindakan jarimah, ketika ia memiliki kebebasan berkehendak
(tidak dipaksa) dan mengetahui arti serta akibat dari perbuatan tersebut. maka
pelaku jarimah akan dimintai pertanggung jawabannya dalam islam.
Maka dari itu, orang yang melakukan perbuatan terlarang sedangkan
ia tidak menghendakinya, misalnya seseorang yang dipaksa untuk melakukan
perbuatan haram sedangkan ia berada dibawah paksaan, maka pelaku tidak bisa dimintai pertanggung
jawabannaya,dan demikian seseorang melakukan kejahatan, tapi tidak mengetahui
arti perbuatannya tersebut, seperti anak-anak atau orang gila, maka ia tidak
bertanggung jawab atas berbuatannya tersebut.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, pelaku jarimah dapat
dimintai pertanggung jawabannya (al-Mas’uliyyah al-Jinaiyyah) bila
perbuatan Jarimah tersebut mengandung tiga hal dasar yaitu:[1]
a.
Adanya
perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan atau adanya perintah untuk dikerjakan.
b.
Adanya
sikap berbuat atau tidak berbuat dan atas kehendak atau kemauan sendiri.
c.
Pelaku
mengetahui akibat-akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Dari pemaparan diatas bisa dipahami
seseorang melakukan dindakan jarimah, akan dimintai pertanggung jawaban
tentunya. bila dalam tindakannya terdapat tiga faktor diatas, dan apabila
ketiganya tidak ditemukan, maka tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.[2] Dan
pertanggung jawaban pidana menurut ketentuan Islam bisa dikenakan kepada
seseorang bila memiliki dua kecakapan:
1.
Ahliyatul
wujub. Adanya kecakapan seseorang disebabkan adanya hak-hak dan kewajiban
padanya keadaan tersebut bersifat internal permanen pada setiap orang.[3]sebagai
manusia, laki-laki ataupun perempuan, memiliki keahlian bernaluri kemanusiaan,
hak-hak tersebut tetap melekat selama seseorang itu masih hidup, jadi jelas
seseorang yang sudah meninggal tidak bisa dimintai pertanggung jawabanya lagi.
2.
Ahliayatul
ada. Kelayakkan seseorang bisa dimintai pertanggung jawabannya ataupun bisa
diberi beban, adalah tindakanya dan kepatutannya sebagai seseorang yang
memiliki akal pikiran, maka seseorang yang dewasa dan memiliki akal pikiran (mukallaf)
bisa dimintai pertanggung jawabanya bila terbukti melakukan tindak pidana
[1] Abdul Qadir
Audah, “ At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy”, ali bahasa Hasan
Basri, (Bogor:PT Kharisma Ilmu, 2009)
jus ll : 66
[2] Ibid.