Ada bebarapa
hal yang mempengaruhi hukuman dalam islam, yaitu:
1.
Menjalankan ketentuan syariat
Setiap manusia
pasti tidak luput dari kesalahan tetapi ada faktor yang bisa meringankan suatu
sangsi yang akan didapatkannya, salah satunya karena menjalankan ketentuan
syariat islam, Allah telah menetapkan manusia sebagai khalifah, dan diantara
khalifah-khalifah di dunia, ada yang yang diberi amanah untuk menjalankan
syariat islam. misalnya seorang hakim, adalah khalifah yang terpilih untuk
menjalankan syariah menetapkan dan menghukum bagi pelaku jarimah dalam islam.
2.
Karena perintah jabatan
Islam
mengajarkan pada umatnya untuk taat kepada ulil amri, apapun yang diperintahkan
oleh ulil amri tentunya ada batasnya selama tidak melanggar syariat islam,
dalam perintah jabatan ini, sesorang yang terpilih berkewajiban melakukan suatu
printah jawaban, walaupun dalam kenyataanya perbuatan tersebut menyakiti orang
lain. Misalnya seorang algojo yang menyambuk seorang pezina. Tentunya perbuatan cambuk tersebut bukanlah
kenginan algojo tetapi perintah jabatanya, atau perintah ulil amri. tentunya perbuatan tersebut sesuai dengan
firman dalam Al-quran yaitu:
3. Keadaan terpaksa
Seseorang yang melakukan kejahatan dibawa
paksaan atau pun ancaman dari orang lain, suatu paksaan tentunya adalah sesuatu
tindakan atau perbuatan yang tidak dikehendaki. Menurut pernyataan Ibrahim
Halabi unsur paksaan ada dua macam, yaitu pertama tidak ada kerelaan, artinya
ada kecenderungan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Kedua ketiadaan ikhtiyar
(kemauan bebas), artinya tidak adanya kepuasan untuk berbuat sesuatu.
Adapun perbuatan dikatakan terpaksa menurut
pendapat Abd al-Qadir Awdah harus tepenuhi lima syarat.[2]
yaitu:
a. Ancaman yang menyertai paksaaan adalah
berat, sehingga dapat mengapus kerelaan, seperti membunuh, pukulan berat dan
sebagainya
b. Ancaman akan dilakukan, bila keinginan
tidak dilakukan oleh si pemaksa tersebut
c. Orang yang memaksa mempunyai kesanggupan
untuk melaksanakan ancamannya. Meskipun ia bukan seorang penguasa atau petugas
tertentu, sebab yang menjadi ukuran ialah kesanggupan yang nyata.
d. Pada
orang yang menghadapi paksaan timbul dugaan kuat bahwa apa yang diancamkan
padanya benar-benar akan terjadi, kalau ia tidak memenuhi tuntutan.
e. Perkara yang diancamkan ialah perbuatan
yang dilarang.
Hukuman dalam hal paksaan tidak tidak harus
bebas sama sekali disana ada tanggung jawab bagi seorang yang memaksa,
sedangkan yang dipaksa ditidak ada qishash ataupun diyat. Hal ini sesuai dengan
hadist Nabi:
4. Pembelaan diri
Pembelan diri, adalah sebagai dasar hukum
adanya pengecualian dalam hukum, bagi seseorang yang membela diri dari sebuah
kejahatan. Dalam islam sendiri kewajiban pagi manusia sebagai khalifah di dunia
untuk melindungi Agama (hifzu din) melindungi diri (hifzu nafs),
menjaga harta (hibzu mal), menjadi akal (hifzu aqal), dan menjaga
keturunan (hifzu nasli).
Kewajiban inilah yang menjadi pengecualian
bagi manusia, setiap manusia harus berusaha menjaga apa yang menjadi miliknya
dari kejahatan atau rampasan orang lain. Tidak sedikit seseorang berani mati
untuk mempertahankan haknya, hal ini sesuai dengan hadis Nabi, yaitu:
5. Subhat
Subhat lebih kepada sesuatu yang pada
dasarnya tetap tetapi pada hakikatnya tidak tetap. Seperti pada keragu-raguan
pada sesuatu yang halal dan juga yang haram. Adanya ketidak jelasan atau keraguan
inilah yang menjadi salah satu
pengecualian dalam pengambilan hukuman dalam islam. Misalnya seseorang yang
menuduh seseorang berbuat zina, apabila tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi maka permasalahan seperti ini menjadi unsur subhat. Karena adanya unsur
subhat (keraguan).
6. Unsur Pemaaf
Unsur pemaaf adalah unsur pengecualian
dalam hukum islam. Tapi penerapan unsur pemaaf hanya pada pidana hukuman qishash.
Seperti tindakan pembunuhan sengaja dan pelukaan dengan sengaja, ataupun
pada tindakan pembunuhan atau pelukaan akibat kesalahan.[5]
Tetapi pada pidana pencurian, perzina, tuduhan perzinahan dan pemberontakan
tidak ditemukan maaf sebagai unsur pengecualian hukuman.
Bila unsur jarimah telah terpenuhi. hukuman
qishash bisa dibatalkan bila didapati sesuatu pemaafan, dan hukuman pengganti
bisa berupa ganti rugi (diyat), terhadap pihak korban sesuai dikendaki
dan disepakiti antara korban/keluarga korban dan pelaku jarimah. Maaf adalah
unsur pengecualian dalam hukuman Qishash terdapat dalam ketentuan Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178:
فمن عفي له من أخيه شىء فاتّباع بالمعروف
واداء اليه باحسان[6]
dalam penjelasan diatas. bila pelaku
kejahatan sudah mendapatkan maaf dari korban atau keluarga, bukan berati pelaku
kejahatan tidak diberi hukuman. Pelaku bisa diberi hukuman tapi bukan hukuman
pokok berupa qishash melainkan hukuman pengganti yaitu ganti rugi (diyat),
dan hukuman lainnya. yang sesuai dengan kesepakatan yang dikembalikan ke pihak
keluarga korban.
[1]
An-Nisa (4) :
59
[2]
Dikutip oleh
Makhrus Munajat, Fikih Jinayah, Pesantren
Nawesea Pres, 2010, hlm 83
[5]
Makhrus
Munajat, Fikih Jinayah, ...hlm, 89